RUU Penyiaran Berpotensi Berangus Kebebasan Pers
Sebab memuat pasal yang mengatur isi konten produk jurnalistik antara lain melarang penayangan jurnalistik investigatif
Proses revisi UU No.32 Tahun 2002 tentang Penyiaran menuai protes dari kalangan masyarakat sipil. Pasalnya penyusunan draf RUU Penyiaran dinilai banyak kalangan tidak melibatkan pemangku kepentingan dan substansinya bermasalah. Ironisnya, terdapat materi yang mengancam kebebasan pers.
Guru Besar Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof Andi M. Faisal Bakti mencatat proses revisi itu masih digodok DPR. Ini bukan kali pertama upaya untuk membatasi kebebasan pers, karena sebelumnya sudah ada beberapa regulasi serupa. Seperti UU No.7 Tahun 2017 tentang Pemilu, Peraturan KPU, dan UU No.6 Tahun 2023 tentang Penetapan Perppu No.2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi UU.
Tapi untuk revisi UU 32/2002, Prof Andi melihat salah satu alasannya beleid itu dianggap sudah ketinggalan zaman. Sehingga perlu diperbarui sesuai perkembangan teknologi informasi. Persoalannya dalam RUU itu ikut menyasar kebebasan pers. Dia memberikan contoh Pasal 50B ayat (2) misalnya, yang mencantumkan larangan konten berita yang ditayangkan melalui media penyiaran, antara lain penayangan eksklusif jurnalistik investigasi. Kemudian melarang konten yang mengandung berita bohong, fitnah, penghinaan, pencemaran nama baik, penodaan agama, kekerasan, dan radikalisme-terorisme.
Prof Andi menilai ketentuan dalam RUU itu tergolong karet sehingga sangat rentan menjerat jurnalis. RUU ini bakal menjadi ancaman baru bagi jurnalis dan insan pers. Padahal selama ini tak sedikit jurnalis yang dijerat pidana menggunakan UU No.1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua Atas UU No.11 Tahun 2008 tentang Informasi Transaksi Elektronik.
“RUU ini harusnya disusun dari awal dengan melibatkan pemangku kepentingan baik dewan pers dan lainnya. Apalagi sekarang sudah banyak ahli komunikasi yang bergelar Profesor,” katanya dalam diskusi bertema ‘RUU Penyiaran dan Ancaman Kebebasan Pers Indonesia,’ Minggu (21/05/2024)